Infeksi HIV Pada Anak

Infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah suatu infeksi virus yang secara progresif menghancurkan sel-sel darah putih dan menyebabkan AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome).

Stadium akhir dari infeksi HIV adalah AIDS.
AIDS adalah suatu keadaan dimana penurunan sistem kekebalan tubuh yang didapat menyebabkan menurunnya kekebalan tubuh terhadap penyakit sehingga terjadi infeksi, beberapa jenis kanker dan kemunduran sistem saraf.
Seseorang yang terinfeksi oleh HIV mungkin tidak menderita AIDS; sedangkan yang lainnya baru menimbulkan gejala beberapa tahun setelah terinfeksi.

Infeksi HIV yang berakhir menjadi AIDS, telah menjadi penyebab utama kematian pada anak-anak.
Pada tahun 1995 CDC (Centers for Disease Control and Prevention) telah menerima laporan tentang jumlah anak yang terinfeksi oleh HIV pada saat lahir, yaitu sebanyak 5500 anak.

Infeksi HIV dan AIDS terutama menyerang dewasa muda, anak-anak atau remaja hanya sekitar 2%.

PENYEBAB
Penyebab terjadinya infeksi HIV adalah virus HIV-1 atau virus HIV-2 (lebih jarang).

3 cara penularan virus kepada anak-anak:

   1. Ketika anak masih berada dalam kandungan
   2. Pada saat proses persalinan berlangsung
   3. Melalui ASI.

GEJALA
Infeksi sebelum selama atau segera setelah lahir, tidak langsung menampakkan gejala.
Pada 10-20% kasus, gejala baru timbul pada saat anak berumur 1-2 tahun; sedangkan pada 80-90% kasus, gejalanya baru timbul beberapa tahun kemudian.
Sekitar 50% anak-anak yang terinfeksi HIV, terdiagnosis menderita AIDS pada usia 3 tahun.

Gejala awal yang biasa ditemukan pada anak yang terinfeksi HIV:
# Pertumbuhan yang jelek, penurunan berat badan, demam yang berlangsung lama atau berulang, diare yang menetap atau berulang, pembengkakan kelenjar getah bening, pembesaran hati dan limpa, pembengkakan dan peradangan kelenjar liur di pipi
# Infeksi jamur yang menetap atau berulang (thrush) di mulut atau daerah yang tertutup popok
# Infeksi bakteri berulang (misalnya infeksi telinga tengah, pneumonia dan meningitis)
# Infeksi oportunistik virus, jamur dan parasit
# Keterlambatan atau kemunduran perkembangan sistem saraf.

Sejumlah gejala dan komplikasi bisa timbul karena adanya penurunan sistem kekebalan.
Sekitar sepertiga anak-anak yang terinfeksi HIV, menderita peradangan paru-paru (pneumonitis interstisial limfositik), biasanya pada tahun-tahun pertama. Gejalanya berupa batuk atau pembengkakan ujung jari tangan (clubbing), tergantung kepada beratnya penyakit.

Pneumonia pneumokistik karena organisme Pneumocystis carinii merupakan ancaman yang serius pada anak-anak.
Anak-anak yang terlahir dengan infeksi HIV biasanya mengalami serangan pneumonia pneumokistik minimal 1 kali pada 15 bulan pertama.
Pneumonia pneumokistik merupakan penyebab utama kematian pada anak-anak dan orang dewasa yang menderita AIDS.

Pada sejumlah anak-anak yang terinfeksi oleh HIV, kerusakan otak yang progresif menyebabkan anak mengalami gangguan atau keterlambatan perkembangan, misalnya berjalan dan berbicara.
Mereka juga mengalami gangguan kecerdasan serta memiliki kepala yang ukurannya relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan ukuran tubuhnya.
20% dari mereka mengalami penurunan kemampuan sosial dan berbahasa serta penurunan pengendalian otot. Bisa terjadi kelumpuhan parsial atau langkahnya menjadi goyah atau ototnya menjadi kaku.

Beberapa anak menderita hepatitis (peradangan hati) dan gagal ginjal atau gagal jantung.
Kanker jarang terjadi pada anak-anak, tetapi kadang ditemukan limfoma non-Hodgkin dan limfoma otak. Sarkoma Kaposi sangat jarang menyerang anak-anak.

Bayi yang terlahir dengan infeksi HIV biasanya memiliki berat badan lahir yang rendah. Dalam waktu 2-3 bulan, penambahan berat badannya juga jelek.

Pada anak-anak yang terinfeksi oleh HIV, bisa terjadi infeksi oportunistik berikut;
# Pneumonia pneumokistik
# Pneumonia interstisial limfoid (pneumonia yang menjadi kronis dan kadang ditandai dengan batuk serta sesak nafas)
# Infeksi bakteri
# Meningitis
# Infeksi jamur
# Esofagitis (peradangan kerongkongan)
# Kandidiasis (infeksi jamur)
# Infeksi virus
# Herpes
# Herpes zoster
# Infeksi parasit.

Pada anak-anak jarang terjadi keganasan.
2 masalah utama yang sering ditemukan pada anak-anak yang terinfeksi HIV atau menderita AIDS adalah wasting syndrome (ketidakmampuan untuk mempertahankan berat badan akibat berkurangnya nafsu makan sebagai respon terhadap infeksi HIV) dan ensefalopati HIV atau demensia AIDS (infeksi otak yang dapat menyebabkan pembengkakan atau penciutan otak).
Wasting syndrome kadang dapat diatasi dengan menjalani konsultasi diet, sedangkan ensefalopati sulit untuk diobati.

DIAGNOSA
Pada bayi baru lahir, pemeriksaan darah standar untuk antibodi HIV tidak bersifat diagnostik karena jika ibunya terinfeksi HIV, maka darah bayi hampir selalu mengandung antibodi HIV.
Antibodi ini akan tetap berada dalam darah bayi selama 12-18 bulan. Jika bayi tidak terinfeksi, maka setelah berumur 18 bulan, antibodi ini akan menghilang; tetapi jika bayi terinfeksi, maka antibodi HIV tetap ditemukan dalam darahnya.

Karena itu untuk mendiagnosis infeksi HIV pada bayi yang berumur kurang dari 18 bulan dilakukan pemeriksaan darah khusus, yaitu reaksi rantai polimerase (PCR, polymerase chain reaction), tes antigen p24 atau pembiakan virus HIV.
Untuk bayi yang berumur lebih dari 18 bulan dilalukan pemeriksaan darah standar untuk infeksi HIV.

PENGOBATAN
Pada saat ini sudah banyak obat yang bisa digunakan untuk menangani infeksi HIV:

   1. Nucleoside reverse transcriptase inhibitor
      - AZT (zidovudin)
      - ddI (didanosin)
      - ddC (zalsitabin)
      - d4T (stavudin)
      - 3TC (lamivudin)
      - Abakavir
   2. Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor
      - Nevirapin
      - Delavirdin
      - Efavirenz
   3. Protease inhibitor
      - Saquinavir
      - Ritonavir
      - Indinavir
      - Nelfinavir.


Semua obat-obatan tersebut ditujukan untuk mencegah reproduksi virus sehingga memperlambat progresivitas penyakit.
HIV akan segera membentuk resistensi terhadap obat-obatan tersebut bila digunakan secara tunggal. Pengobatan paling efektif adalah kombinasi antara 2 obat atau lebih, Kombinasi obat bisa memperlambat timbulnya AIDS pada penderita HIV positif dan memperpanjang harapan hidup.
Dokter kadang sulit menentukan kapan dimulainya pemberian obat-obatan ini. Tapi penderita dengan kadar virus yang tinggi dalam darah harus segera diobati walaupun kadar CD4+nya masih tinggi dan penderita tidak menunjukkan gejala apapun.

AZT, ddI, d4T dan ddC menyebabkan efek samping seperti nyeri abdomen, mual dan sakit kepala (terutama AZT).
Penggunaan AZT terus menerus bisa merusak sumsum tulang dan menyebabkan anemia.
ddI, ddC dan d4T bisa merusak saraf-saraf perifer. ddI bisa merusak pankreas.
Dalam kelompok nucleoside, 3TC tampaknya mempunyai efek samping yang paling ringan.

Ketiga protease inhibitor menyebabkan efek samping mual dan muntah, diare dan gangguan perut.
Indinavir menyebabkan kenaikan ringan kadar enzim hati, bersifat reversibel dan tidak menimbulkan gejala, juga menyebabkan nyeri punggung hebat (kolik renalis) yang serupa dengan nyeri yang ditimbulkan batu ginjal.
Ritonavir dengan pengaruhnya pada hati menyebabkan naik atau turunnya kadar obat lain dalam darah.
Kelompok protease inhibitor banyak menyebabkan perubahan metabolisme tubuh seperti peningkatan kadar gula darah dan kadar lemak, serta perubahan distribusi lemak tubuh (protease paunch).

Penderita AIDS diberi obat-obatan untuk mencegah infeksi ooportunistik.
Penderita dengan kadar limfosit CD4+ kurang dari 200 sel/mL darah mendapatkan kombinasi trimetoprim dan sulfametoksazol untuk mencegah pneumonia pneumokistik dan infeksi toksoplasma ke otak.
Penderita dengan limfosit CD4+ kurang dari 100 sel/mL darah mendapatkan azitromisin seminggu sekali atau klaritromisin atau rifabutin setiap hari untuk mencegah infeksi Mycobacterium avium.
Penderita yang bisa sembuh dari meningitis kriptokokal atau terinfeksi candida mendapatkan flukonazol jangka panjang.
Penderita dengan infeksi herpes simpleks berulang mungkin memerlukan pengobatan asiklovir jangka panjang.


PROGNOSIS

Pemaparan terhadap HIV tidak selalu mengakibatkan penularan, beberapa orang yang terpapar HIV selama bertahun-tahun bisa tidak terinfeksi. Di sisi lain seseorang yang terinfeksi bisa tidak menampakkan gejala selama lebih dari 10 tahun.
Tanpa pengobatan, infeksi HIV mempunyai resiko 1-2 % untuk menjdi AIDS pada beberapa tahun pertama. Resiko ini meningkat 5% pada setiap tahun berikutnya.

Resiko terkena AIDS dalam 10-11 tahun setelah terinfeksi HIV mencapai 50%.
Sebelum diketemukan obat-obat terbaru, pada akhirnya semua kasus akan menjadi AIDS.

Pengobatan AIDS telah berhasil menurunkan angka infeksi oportunistik dan meningkatkan angka harapan hidup penderita.
Kombinasi beberapa jenis obat berhasil menurunkan jumlah virus dalam darah sampai tidak dapat terdeteksi. Tapi belum ada penderita yang terbukti sembuh.

Teknik penghitungan jumlah virus HIV (plasma RNA) dalam darah seperti polymerase chain reaction (PCR) dan branched deoxyribonucleid acid (bDNA) test membantu dokter untuk memonitor efek pengobatan dan membantu penilaian prognosis penderita.
Kadar virus ini akan bervariasi mulai kurang dari beberapa ratus sampai lebih dari sejuta virus RNA/mL plasma.

Pada awal penemuan virus HIV, penderita segera mengalami penurunan kualitas hidupnya setelah dirawat di rumah sakit. Hampir semua penderita akan meninggal dalam 2 tahun setelah terjangkit AIDS.
Dengan perkembangan obat-obat anti virus terbaru dan metode-metode pengobatan dan pencegahan infeksi oportunistik yang terus diperbarui, penderita bisa mempertahankan kemampuan fisik dan mentalnya sampai bertahun-tahun setelah terkena AIDS. Sehingga pada saat ini bisa dikatakan bahwa AIDS sudah bisa ditangani walaupun belum bisa disembuhkan.

PENCEGAHAN
Pencegahan penularan HIV dari ibu kepada bayinya dilakukan dengan cara memberikan obat anti-HIV.
Kepada ibu hamil yang diketahui terinfeksi HIV, pada trimester kedua dan ketiga (6 bulan terakhir) diberikan AZT per-oral (melalui mulut), sedangkan pada saat persalinan diberikan AZT melalui infus.
Kepada bayi baru lahir diberikan AZT selama 6 minggu.
Tindakan tersebut telah berhasil menurunkan angka penularan HIV dari ibu kepada bayinya, dari 25% menjadi 8%.

Pada persalinan normal, kemungkinan penularan HIV lebih besar, karena itu pada ibu hamil yang terinfeksi HIV kadang dianjurkan untuk menjalani operasi sesar.

Resiko penularan melalui ASI relatif rendah.
Jika tersedia susu formula yang baik dan air yang bersih, maka sebaiknya ibu yang terinfeksi HIV tidak memberikan ASI kepada bayinya.
Jika air yang tersedia tidak bersih sehingga besar kemungkinannya untuk terjadi diare atau kekurangan gizi, maka sebaiknya ibu tetap memberikan ASI kepada bayinya karena pemberian ASI lebih menguntungkan bagi kesehatan bayinya.