"Bobot, Bibit, Bebet" Bukan Cuma Soal Materi


Tidak mudah menyatukan dua orang dengan latar belakang berbeda dalam satu pernikahan. Menurut salah satu teori psikologi, semakin banyak kesamaan yang dimiliki pasangan, akan semakin mengukuhkan relasi.

”Kita berteman saja kan pilih-pilih orang, mana yang cocok dan nyambung dengan kita, apalagi mencari pasangan,” kata Ratih Ibrahim, psikolog yang berprofesi sebagai penasihat perkawinan.

Kesamaan yang dimaksud bukanlah kesamaan fisik, melainkan kesamaan latar belakang, seperti status sosial, pendidikan, agama, visi, atau cara seseorang dibesarkan. Cara seseorang dibesarkan akan sangat berpengaruh pada cara pikir seseorang.

”Latar belakang itulah yang oleh masyarakat Jawa disebut bobot, bibit, bebet. Namun, sering kali filosofi itu dimaknai secara sempit. Bobot, bibit, bebet selalu dikaitkan dengan segala hal yang bersifat materialistik,” katanya.

Kesamaan atau keseimbangan latar belakang membuat komunikasi antarpasangan nyambung. Komunikasi ini dibutuhkan untuk menyelesaikan persoalan yang muncul dalam perkawinan.

Persoalan yang paling banyak dikeluhkan kliennya, kata Ratih, adalah soal sulitnya berkomunikasi dengan pasangan. Setiap kali seseorang mencoba mengutarakan kegelisahannya pada pasangan, ia malah mendapat tanggapan negatif. ”Saya membantu mereka agar masing-masing lebih memahami keadaan yang dihadapi,” kata Ratih.

Persoalan lain yang dikeluhkan adalah bosan dengan pasangan, selingkuh, suami yang tidak bisa memenuhi kewajiban finansial, dan ekspektasi seseorang yang terlalu tinggi terhadap pasangannya.

Sikap berbesar hati sangat dibutuhkan agar masing-masing orang bisa mengenal pasangannya. Seperti dialami Santi (45) yang sudah menikah selama 20 tahun dengan pasangannya, Fajar (49). Meski pernikahan mereka bukan seumur jagung, Santi masih berusaha untuk terus mengenali pasangannya, melakukan penyesuaian-penyesuaian, dan berkompromi.

Tiga tahun pertama, pernikahannya sempat goyah. Ia merasa suaminya orang yang sangat tertutup dan tidak pernah mau bercerita apa pun soal pekerjaannya. Padahal, sebagai istri, dia ingin tahu bagaimana pekerjaan suaminya di kantor, mengenal teman-temannya, dan lainnya.

Sang suami juga sulit dimintai bantuan bila ada kerusakan di rumahnya. Kebiasaan itu bahkan sampai sekarang masih dialami Santi. Namun, dengan pendekatan yang komunikatif, Santi akhirnya bisa menggerakkan suaminya untuk banyak turun tangan menangani persoalan-persoalan praktis di rumah.

”Saya akhirnya memahami bahwa suami saya dibesarkan oleh orangtua yang otoriter sehingga ia kurang punya inisiatif. Di keluarganya, jarak antara dia dan saudaranya juga jauh sehingga waktu kecil ia dilayani kakak-kakaknya yang membantu pengasuhan,” kata Santi.

Untuk ”menaklukkan” pasangannya, Santi membeli buku-buku yang membahas soal hubungan antara laki-laki dan perempuan serta bagaimana berkomunikasi dengan pasangan. Saran-saran yang tertulis di buku itu lalu diterapkan Santi dalam berkomunikasi dengan pasangan dan membuatnya lebih memahami pasangannya.

Dengan melakukan perubahan pada dirinya sendiri, Santi bisa membuat Fajar ikut terlibat dalam membina rumah tangga. Seperti kata Ratih, ”Tidak ada salahnya kita berubah dulu untuk membuat orang lain berubah.”(Kompas,Minggu, 4/4/2010)