Benarkah pendapat yang mengatakan musik jenis tertentu bisa membangkitkan gairah seks? "Tak bisa dipastikan. Yang perlu dilihat justru kualitas hubungan suami-istri yang bersangkutan," kata terapis musik Monty P Satiadarma, MS/AT, MCP/MFCC, Psi. Maksudnya, rinci Dekan Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara Jakarta ini, adalah kedekatan hubungan mereka secara psikis. "Itu yang lebih 'bicara' dibanding kehadiran musik saat mereka tengah berintim-intim."
Contoh yang paling gampang, kata Monty, saat mengobrol. "Obrolan enggak akan nyambung jika di saat yang sama mendengar suara musik keras mengentak-entak kan? Bahkan musik klasik sekalipun kalau disetel keras-keras ya jadi saling enggak dengar." Alhasil, harus dipertanyakan, tujuannya mau mendengarkan musik atau berkomunikasi?
Musik Tanpa SyairNah, begitu juga soal musik yang pas untuk berintim-intim. Kalau mau dijadikan musik pengiring alias background music atau musik yang menjadi latar belakang belaka, tentu saja pilihan musiknya harus yang tenang sehingga memberi suasana rileks, nyaman. "Bisa semiklasik, piano solo, jazz, juga musik romantik. Jadi, tak selalu harus musik klasik."
Sedapat mungkin, saran Monty, pilih musik instrumentalia. Alasannya, "Kita kan sedang melakukan hubungan komunikasi. Kalau di saat seperti itu kita dengar musik yang bersyair, maka ada dua jalur verbal yang ditangkap sekaligus oleh fungsi kognitif seseorang. Pertama, ia menangkap stimulus indrawi melalui sensoris pendengaran (auditorial sensory) yang kemudian diteruskannya ke dalam sistem susunan saraf pusat. Nah, masukan inilah yang diolah kembali, antara lain menggunakan sistem yang dikenal sebagai funelling atau corong. Kalau butir pertama belum masuk, maka butiran pasir berikut belum bisa masuk ke corong karena harus antre. Begitu seterusnya."
Nah, bisa dibayangkan, butiran pertama adalah musik dan butiran kedua syair, sementara butiran berikutnya adalah isi pembicaraannya dengan pasangan. "Ribet kan karena akan beradu antara syair, lagu, dan omongannya." Di satu pihak ia mesti mendengar lawan bicaranya, sementara di lain pihak ia perlu menyimak syair lagunya sekaligus menikmati alunan musik itu sendiri.
Alhasil, komunikasi tak bisa berlangsung dengan baik. Selain itu, bila musiknya terlalu keras,gelombang suara pembicara pun harus bisa mengimbangi kerasnya musik. Jadilah akhirnya saling "teriak". Saat berkomunikasi, lazimnya diharapkan dua pihak yang terlibat menaruh konsentrasi penuh selama komunikasi tersebut berlangsung. Pertimbangannya, yang satu mengirim berita dan yang satu menangkap isi berita. Untuk itu tentunya diperlukan konsentrasi."Jika musiknya bersyair atau volumenya kelewat keras,pesan komunikasi jadi tak sampai karena konsentrasi yang terganggu."
Tergantung SeleraMemang, lanjut Monty, musik bisa bersifat terapeutik. Artinya, bisa dipakai sebagai sarana terapi. Tapi tak semata-mata berarti bisa mempersatukan pasangan yang tengah bermasalah. Konkretnya, bagaimana mungkin hanya dengan mendengarkan musik yang sama orang lantas bisa jadi akrab satu sama lain? Padahal, "Keakraban, terutama kedekatan psikis, tidak ditentukan oleh musik semata, melainkan oleh banyak hal. Terutama kondisi psikologi yang bersangkutan dalam memberi makna terhadap kehadiran suami/istrinya." Lain halnya jika aktivitas mendengarkan musik menjadi semacam kegiatan tambahan di luar aktivitas berkomunikasi tadi.
Contohnya, pasangan yang dinner sambil mengobrol di ruang sepi dibanding bila aktivitas serupa dilakukan di ruang yang berlatar belakang musik berisik alias hingar bingar. Dalam perbandingan semacam itu, bisa saja musik klasik membantu mengakrabkan hubungan. Pasalnya, dampak yang dimunculkan oleh musik tak lain adalah nuansa.
Sedangkan untuk hal yang paling intim, yakni hubungan suami-istri, hadirnya musik pengiring amat terpulang pada selera masing-masing pasangan. "Soalnya, ada yang suka dan ada pula yang tidak." Ada yang memang senang menggunakan nuansa musik untuk menghadirkan suasana lebih romantis. "Sebaliknya, ada juga yang menganggapnya justru mengganggu kebersamaan mereka."
Di sisi lain,prinsip dasar antara mendengarkan musik dan hubungan intim sedikit banyak memiliki kemiripan. Di antaranya menuntut konsentrasi tinggi dan membutuhkan energi yang tidak sedikit. Dengan kata lain, bukan sesuatu yang sifatnya santai-santai dan bisa dilakukan sambil lewat begitu saja.
Hadirkan SuasanaKehadiran musik, sambung Monty, bukan tidak mungkin malah dianggap mengganggu. Alih-alih mau menambah indah suasana, eh, justru perhatian teralih ke musik tadi."Kecuali kalau masing-masing pihak sepakat dan sudah terbiasa dengan 'ritual' semacam itu."
Selain itu, terang Monty pula, musik harus mampu bersifat amusement alias bisa dinikmati. Jadi, "Sepanjang musik yang diperdengarkan tadi bisa dinikmati oleh pasangan suami-istri yang tengah berintim-intim, membuat keduanya dalam suasana relaks, mengapa tidak?"
Namun, tegasnya, perlu disadari sekali lagi, kehadiran musik hanya sebatas memberi pengaruh pada nuansa suasana. Dalam arti, suasana yang diharapkan suami-istri mudah-mudahan bisa terwujud dengan kehadiran musik. Meski tentu saja tidak selalu demikian.
Soalnya, bukan tidak mungkin, kan, di saat yang bersamaan seorang istri tengah dingin alias tak berselera, sementara suaminya justru amat menggebu. Suami yang bijak tentu tidak akan memaksa. Sebagai gantinya, mengapa tidak mencoba cara lain semisal menyetel musik kesukaan istrinya? Kalau lewat musik tadi si istri jadi terkenang pada kenangan tertentu yang istimewa, bukan tidak mungkin akan timbul suasana relaks ataupun romantis. Nah, dalam suasana seperti itu tak berlebihan, kok, kalau gairah seksual diharapkan bisa muncul.
Kendati, tegas Monty, lagi-lagi kedekatan psikologis jauh lebih menentukan. "Kalau suami-istri lagi marahan, biarpun disetel lagu seromantis apa pun, saya sangsi gairah seksual bisa muncul." Dengan kata lain, jikatengah jengkel, jangan harap bisa terjalin hubungan intim hanya dengan mengandalkan musik.
Karena itu, tambahnya, "Kalaupun ada yang bilang pengaruh musik terhadap seks sedemikian hebat, mungkin penelitiannya terlalu bias. Artinya, sudah ada harapan yang berlebihan mengenai hal tersebut." Jadi, musik atau lagu tertentu hanya ikut membentuk/menghadirkan suasana romantis. Hanya saja apakah suasana romantis itu nantinya akan menyatukan individu suami-istri dalam hubungan intim, tak ada yang bisa memastikan.
Bergetarnya Elemen TubuhMusik, tegas Monty, arahnya justru lebih ke spiritual ketimbang libidinal/dorongan hewani meski kelak ada hubungan satu sama lain. "Karena awalnya kan musik muncul sebagai pemujaan terhadap alam semesta dan penciptanya."
Pemujaan kepada dewa dan leluhur lewat nyanyian dan tarian untuk minta hujan, contohnya. Nah, melalui gerakan-gerakan saat menari itulah individu yang bersangkutan merasakan adanya dampak libidinal. "Pada dasarnya, musik menghasilkan vibrasi suara. Nah, itulahyang menggetarkan banyak elemen di dalam tubuh yang kemudian membangkitkan gairah tertentu. Di antaranya, ya, gairah erotis itu tadi. Hanya saja sifatnya sangat individual."
Libido Sudah TinggiAkar musik dangdut yang sama sekali belum dimordernisasi, jelas Monty, boleh jadi memang dimaksudkan untuk menggugah gairah seksual. Hanya saja, campuran pengaruh musik India dan Melayu ini ditujukan buat mereka yang tengah menikmati minuman beralkohol di warung-warung pinggir jalan dalam keremangan malam.
"Boleh jadi libido mereka yang nongkrong di situ memang sudah tinggi, lalu semakin dipacu lagi dengan suasana remang-remang dan minuman beralkohol tinggi. Jadi, bukan semata-mata karena musiknya."
Jika Beda SeleraMenurut Monty, kalau selera musik antara istri dan suami bertolak belakang, mau tidak mau harus disesuaikan dulu satu sama lainnya. "Tidak bisa saling memaksakan diri untuk saling melengkapi." Contohnya, istri suka lagu klasik sementara suami justru makin bergairah jika mendengar lagu dangdut."Jangankan terbangkitkan gairah, bisa-bisa istri malah sebal dan akhirnya mereka malah ribut karena dongkol. Akhirnya, gairah jadi padam." Lalu bagaimana menjembataninya? "Ya, enggak usah pakai musik saja, deh! Sederhana, kan?"
Lagu Mendesah VS GairahSampai saat ini, aku Monty, belum bisa dipastikan apakah ada penelitian khusus tentang musik tertentu yang membuat gairah seseorang meningkat. Misalnya, lagu yang disertai suara mendesah. Atau lagu yang direkam dengan metode subliminal hingga ada gelombang suara, namun tidak tertangkap oleh penginderaan biasa. Apakah gelombang suara yang desibelnya di bawah 20 hingga hanya bisa ditangkap oleh alam ketidaksadaran yang membuat individu bersangkutan merasakan adanya perubahan tanpa mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi?
Kalau hal semacam itu yang terjadi, terang Monty, "Tidak bisa diklasifikasikan sebagai musik. Melainkan stimulus getaran (fibrational stimulation) yang kemudian memicu gairah seksual."
Penulis : Th. Puspayanti /Kompas