Membersihkan vagina dengan cairan antiseptik kini makin sering dilakukan kaum perempuan. Alasannya beragam, ada yang untuk kesehatan, tapi lebih banyak untuk alasan "kosmetik", yakni agar Ms V menjadi kesat dan harum.
Sebenarnya vagina memiliki mekanisme pembersihan sendiri, yakni dengan koloni bakteri normal yang menjaga keseimbangan mikroorganisme di dalam dan di sekitar alat vital. Namun, keseimbangan ini bisa saja terganggu oleh perilaku perempuan sendiri. Misalnya penggunaan celana ketat yang menyebabkan kelembaban vagina terganggu sekaligus menyuburkan bakteri merugikan.
Obat pencuci vagina, menurut dr Hendro Sudarpo SpOG, ahli kebidanan dan kandungan RS Siloam Lippo Karawaci, boleh saja digunakan. Namun, untuk penggunaan sehari-hari, ia tidak menyarankan memilih produk antiseptik.
"Penggunaan antiseptik bisa membunuh flora alami di vagina dan bisa mengganggu suasana asam menjadi basa. Akibatnya, bakteri yang sifatnya membantu malah mati," papar dokter Hendro.
Ia menambahkan, keasaman (pH) vagina yang normal adalah 3,5 hingga 4,5. Bila keasaman vagina tidak seimbang, kuman lain seperti jamur dan bakteri malah punya kesempatan hidup di tempat tersebut sehingga muncul penyakit lain, seperti infeksi. Penggunaan disinfektan sebaiknya hanya bila ada indikasi, misalnya, keputihan. Itu pun harus saran dokter.
Tidak semua wanita bisa menggunakan obat pencuci vagina, misalnya wanita yang punya kecenderungan alergi terhadap zat kimia. Penggunaan obat cuci bisa berisiko membuat luka pada dinding vagina. Zat-zat kimia ini menyebabkan iritasi bila bersentuhan dengan serviks atau dinding vagina sebelah dalam. Akibatnya, bukannya bersih, malah menimbulkan luka baru yang bisa mengundang infeksi.
Untuk membersihkan vagina sehari-hari, lakukan dengan air hangat dan sabun yang kadar sodanya tak terlalu tinggi. Itu pun yang dibersihkan cukup mulut vagina bagian luar.(Kompas,Senin, 22 Februari 2010)