Kesehatan Reproduksi Bukan Cuma Masalah Fisik


Kesehatan reproduksi seharusnya dipahami sebagai sehat fisik, psikologis, dan sosial. Reproduksi menyentuh semua hal dalam tubuh pria dan wanita, dari mengenali organ luar, menstruasi, sperma atau mani, seks, hingga kehamilan.

Ninuk Widiantoro, psikolog dari Yayasan Kesehatan Perempuan, menyatakan bahwa pemahaman yang utuh tentang kesehatan reproduksi belum ada di masyarakat, bahkan negara. Padahal, menurutnya, kesehatan reproduksi mulai perlu diperhatikan dari anak, remaja, hingga pasangan yang bersiap menikah.

"Pemeriksaan kesehatan sebelum hubungan seks sangat penting. Tak perlu lagi sungkan untuk menanyakan calon suami tentang kesehatannya. Calon mempelai perlu memeriksakan kesehatan reproduksi, bukan hanya perempuan, melainkan juga pihak lelaki," papar Ninuk saat peluncuran Pundi Kesehatan di Ciganjur, Selasa (20/4/2010).

Memeriksakan kesehatan reproduksi pasangan harus komprehensif dan bukan hanya fisik. Lantas apa saja yang harus diperiksakan?

Kondisi fisik
Baik perempuan maupun lelaki yang berencana menikah tak perlu sungkan meminta pasangan untuk memeriksakan kondisi kesehatannya. Dalam hal ini terkait pemeriksaan fisik, terutama organ reproduksinya.

Tujuan menikah
Mengenali tujuan bersama dalam pernikahan termasuk dalam kesehatan yang bersifat psikologis. Keadaan akan memburuk jika pernikahan tanpa ada sikap saling menghargai, apalagi jika pihak perempuan tidak mendapat kesempatan menyuarakan dirinya. Misalnya, dia belum siap menikah secara umur dan kematangan organ reproduksi.

"Kematian ibu bukan hanya karena menikah dini, melainkan juga karena secara psikologis ada tekanan dalam dirinya karena harus melayani suami yang tidak disukainya karena jauh lebih tua atau sudah beristri, misalnya," papar Ninuk.

Kesiapan ekonomi dan sosial
Diskusi soal ini dengan pasangan bukan sekadar ukuran materi, melainkan juga apakah pasangan sudah siap memberikan kasih sayang kepada keluarganya nanti, termasuk apakah kepribadiannya sudah matang untuk menikah dan berkeluarga.

Pemahaman peran perempuan dan lelaki
Perkawinan sebaiknya menjadi pintu kebahagiaan, dan bukan pemaksaan, apalagi kekerasan. Perlu ada kesepahaman antara perempuan dan lelaki tentang peran dan gaya hidupnya. Perlu ada kesesuaian pandangan antara peran peran suami dan peran istri sebagai ibu, pekerja, dan istri. Baik suami maupun istri bukan pemaksa atau pelaku kekerasan. Berbagai referensi bisa dijadikan bahan diskusi untuk dikomunikasikan dengan pasangan.

Seksualitas
Kekerasan seksualitas terjadi saat adanya pemaksaan dari pihak lain. Jika suami atau istri sedang tak bergairah, maka pihak mana pun tidak berhak menuntut untuk dilayani. Seks harus didahului hal-hal yang manis. Kita tidak boleh langsung meminta suami atau istri memenuhi hasrat libido kita. Ketika secara psikologis istri tidak siap, misalnya, itu berarti organ reproduksi juga belum siap menerima kegiatan seks. Jika hal ini terjadi pada pasangan yang menikah dini (perempuan di bawah umur), maka yang terjadi adalah perkosaan dan bukan hubungan seks sehat yang dilakukan pasangan menikah.(Kompas,Senin, 26/4/2010)