Sidrom PMS, bikin Emosi dan Uring-Uringan

Sindrom pra menstruasi kerap diarahkan kepada wanita yang tiba-tiba jadi uring-uringan. Kabarnya PMS juga bisa membuat wanita sampai bunuh diri. Duh, mengerikan ya? Yuk, cari tahu seperti apa sebenarnya sindrom ini.

Melihat wanita yang tiba-tiba marah di setiap bulannya, banyak orang lalu tersenyum geli menanggapinya. Tuduhan yang kerap ditudingkan kepada wanita ini yaitu PMS (premenstrual syndrome) atau sindrom pra menstruasi.

Ya, PMS memang umum menjadi lelucon di kalangan wanita yang melihat rekan wanita lainnya jadi uring-uringan. Kabarnya, pada beberapa hari menjelang haid wanita bisa dihinggapi rasa tak nyaman dan mudah marah.

Menurut dr. Eric Kasmara, SpOG, spesialis kandungan dari Siloam Hospital Kebon Jeruk, Jakarta, tak salah bila banyak orang kerap berpikir demikian. PMS memang bisa menghinggapi 70-80 persen wanita usia reproduktif.

“Paling tidak, sekali dalam hidupnya wanita pernah mengalami PMS,” ungkap Eric. Namun, tak lantas setiap wanita menunjukkan gejala uring-uringan ini. Pada dasarnya gejala PMS amat beragam dan tak sama pada setiap individu. Gejala muncul seperti mood yang mudah berubah (swing mood) tak selalu menyertai PMS yang dialami setiap wanita.
Menurut dr.Yossy Agustanti Indradjaja, SpKJ, psikiater dari Siloam Hospital Kebon Jeruk, Jakarta, variasi gejala PMS yang ditunjukkan amat bergantung kepada kepribadian tiap orang. Bahkan pada kondisi tertentu, PMS juga dapat memperparah depresi yang dialami seseorang hingga menguatkan keinginan bunuh diri.

Akan tetapi, hal semacam ini amat jarang terjadi. Dibutuhkan kondisi-kondisi khusus hingga menyebabkan hal yang fatal. Seperti apa saja ya, kondisi tertentu itu?

Pengaruhi Fisik & Psikis
Sindrom pra menstruasi adalah kondisi yang dialami seorang wanita menjelang haid. Menurut Eric, banyak teori yang berusaha menjelaskan mengenai PMS, diantaranya mengaitkan ketidakseimbangan hormon kewanitaan dan pengaruhnya pada hormon lain maupun neuro transmitter.

Yossy menambahkan, ada pula pendapat lain yang mempercayai terjadinya penurunan serotonin dan beta endorfin menjelang haid yang menimbulkan gangguan fisik dan psikis. Seperti rasa kencang pada payudara, kembung, konstipasi, diare, timbul jerawat, rasa lelah, cemas, mudah marah, dan depresi.

Sayangnya, belum ada penelitian yang benar-benar pasti mengenai proses PMS itu sendiri. Namun, secara empiris gejala PMS diklasifikasikan ke dalam 4 tipe. Tipe A (anxiety), tipe H (hyper hydration), tipe C (craving), dan tipe D (depression).
PMS tipe A kebanyakan menunjukkan rasa cemas, tegang, dan sedikit kelabilan emosional. PMS tipe H lebih banyak menunjukkan gejala fisik seperti perut kembung, payudara tegang, pembengkakan kaki, hingga peningkatan berat badan menjelang haid karena penimbunan cairan.

PMS tipe C dikaitkan dengan peningkatan selera makan. Misalnya, menjelang haid cenderung jadi suka kudapan yang manis-manis. Sedangkan PMS tipe D menyebabkan depresi, sedih, lemah, dan bingung. Semua gejala ini dapat dirasakan 5 hari hingga 2 minggu menjelang haid, lalu akan hilang sendiri ketika sudah masuk masa menstruasi.

Bisa Sebabkan Bunuh Diri
PMS bukan sembarang perubahan fisik maupun psikis yang berlangsung pada beberapa hari menjelang haid. Eric menegaskan, perlu pemastian gejala PMS itu berulang 2-3 siklus haid berturut-turut. Jika ya, barulah dapat dikatakan seseorang mengalami PMS.

Gejala PMS ini kebanyakan merupakan gabungan beberapa tipe PMS yang tidak berdiri tunggal. Misalkan, gejala PMS tipe A berkombinasi dengan tipe C yang menimbulkan peningkatan nafsu makan sekaligus perubahan emosional yang tak terkontrol.

Namun, pada kasus tertentu, kombinasi PMS tipe A dan D justru bisa memperparah kondisi emosi penderita PMS. PMS ini kemudian dikenal dengan PMDD (pre menstruation dysphoric disorder) yang menyebabkan penderita yang sudah depresi, makin parah.

Pada suatu tingkat dapat mencapai depresi tingkat berat, ditandai dengan ketidakmampuan melakukan kegiatan sehari-hari. “Sekitar 2-8 persen wanita dengan PMS bisa mengalami PMDD,” ungkap Eric mengingatkan peluang terjadinya PMDD.

Bila PMDD disertai riwayat gangguan kejiwaan seperti sindrom manik-depresi (bipolar syndrome), kepribadian histronic maupun gangguan kepribadian ambang, serta sudah pernah tercetus ide bunuh diri, maka tak tertutup kemungkinan penderita depresi berat yang mengalami PMDD memutuskan bunuh diri.
Yossy tak menolak hal itu dapat terjadi, namun ia pun menekankan, PMS bukanlah pencetus utama dari keputusan bunuh diri. “Biasanya ada pencetus lain, misalnya sudah ada masalah yang cukup berat. Ketika PMS membuatnya semakin tak nyaman, ini akan makin memicu depresi yang sudah ada.”

Terapi Obat & Kepribadian
Menghadapi gejala PMS memang gampang-gampang sulit. Ada yang bisa melewatinya sendiri tanpa masalah. Ada pula yang kerap menjadi masalah bulanan. Bila kerap menemui masalah siklus bulanan, baik Yossy maupun Eric menyarankan untuk berkonsultasi kepada ahlinya.

Menurut Yossy, pada tahap awal biasanya pasien akan dianjurkan mengikuti konseling. Tujuannya untuk menanamkan pikiran positif pada pasien. “Biasanya seseorang baru akan melakukan konseling ketika gejala PMS sudah cukup mengganggu dirinya maupun lingkungannya,” ungkap Yossy.

Bila memang cukup mengganggu dalam konteks sosial, psikiater akan menganjurkan pasien mengikuti terapi suportif atau CBT (cognitive behavior therapy). Terapi ini memiliki tujuan utama untuk mengubah pola pikir. “Jadi, ketika ia merasa tak nyaman, ia tahu apa yang harus dilakukan!” terang Yossy.
Bila disertai gejala lain yang memperparah depresi seperti, kecemasan berlebih, kelabilan emosi, hingga sulit tidur, dokter akan memberi obat-obatan untuk mengatasi gejala tadi. Terapi ini bertujuan meningkatkan serotonin sehingga dapat memperbaiki mood.

Sedangkan untuk sehari-hari, Yossy menganjurkan bagi wanita yang kerap mengalami PMS untuk berolah raga lebih teratur. “Latihan fisik amat berguna untuk meningkatkan endorfin, sehingga bisa meningkatkan rasa nyaman,” pungkas Yossy. (tabloid nova)