Haruskah Bersuara Saat Bercinta?


Bagaimana suasana di kamar saat Anda dan pasangan sedang bercinta? Terdengar suara-suara desahan yang khas atau sebaliknya, sunyi-senyap? Suara erotik, misalnya saat terangsang atau orgasme, memang dapat menjadi rangsangan seksual yang bersifat psikis. Dengan mendengarnya saja, seseorang dapat lebih terangsang.

Namun, tidak semua orang memahami bahwa suara saat bercinta bisa berperan seperti itu. Malah banyak orang justru berusaha menahan agar suara tidak muncul saat beraksi, dengan alasan malu jika terdengar. Hal ini memang sudah menjadi kebiasaan di budaya timur, terutama di kalangan para perempuan. Sebagian perempuan masih menganggap seks sebagai hal yang sangat pribadi.

Padahal, menurut Susan Block, terapis seks Amerika Serikat dan pendiri Institute for the Erotic Arts & Sciences, dalam bukunya The 10 Commandments of Pleasure, mengekspresikan kenikmatan seks dengan lenguhan dan jeritan-jeritan kecil nan manja sangat disarankan. Mengapa? Karena erangan, rintihan, desahan, dan lenguhan saat bercinta akan mengantarkan Anda dan pasangan ke puncak sensasi yang luar biasa.

Ungkapan suara juga memiliki pengaruh terhadap diri sendiri dan pasangan Anda dalam mencapai kepuasan seksual. Selain itu, desahan dan lenguhan menandakan ekspresi kebebasan dan kepuasan bercinta bersama pasangan.

Perlunya bersuara
Dalam penelitian yang dimuat di situs WebMD.com, Dr Roy Levin MD, ahli biomedik dan seksologis Amerika menyebutkan bahwa setidaknya ada empat alasan mengapa seseorang mengeluarkan suara-suara tertentu sewaktu melakukan aktivitas seksual. Alasan itu antara lain:

1. Menyampaikan informasi. Baik disadari atau tidak, kita memang mengeluarkan suara-suara saat bercinta untuk memberi tahu pasangan tentang apa yang terjadi dalam hubungan seks. Kita akan mengeluarkan suara untuk menunjukkan apa yang kita suka dan tidak, mau lebih atau kurang stimulasi yang kita terima, juga saat menjelang dan sedang orgasme.

2. Meningkatkan gairah. Suara yang bersifat seksual terbukti bisa menambah gairah, baik pada Anda yang bersuara maupun pada pasangan yang mendengarnya. Mengapa? Karena semakin Anda berekspresi dengan suara, ini bisa memberi sinyal pada pasangan bahwa Anda menikmati seks yang dia berikan, terutama suara-suara menjelang orgasme. Begitu pula sebaliknya. Jika Anda dapat merangsang pasangan dengan baik, dan dia mengeluarkan suara atau melakukan gerakan fisik tak terkendali, maka Anda akan semakin bersemangat dalam beraksi.

3. Menambah kenikmatan. Atau istilah kerennya amplifikasi hedonik. Menurut Levin, suara dalam seks bisa menambah kenikmatan bukan karena suara itu sendiri, melainkan karena dampaknya terhadap pernafasan. Ketika kita sudah sangat bergairah dan mendekati orgasme, biasanya suara meningkat semakin cepat dan dalam, atau istilahnya hiperventilasi. Keadaan ini sendiri bisa menghantarkan seseorang dari euforia ringan sampai kondisi mirip trans (kondisi seseorang terputus hubungan dengan sekelilingnya, atau keadaan tidak sadar).

4. Sinkronisasi sistem gairah. Dengan membuat suara saat bercinta, kita seolah menyinkronkan sistem gairah di tubuh. Jadi, suara itu seperti pesan yang dikirimkan ke seluruh tubuh dengan hasil berupa peningkatan gairah sebagai respons.

Meskipun demikian, mengeluarkan suara untuk mengekspresikan kenikmatan seksual bukanlah suatu keharusan. Banyak juga pasangan yang memilih untuk menahan suaranya, walaupun sebenarnya tanpa diikuti kekhawatiran akan didengarkan orang lain. Menurut Ian Kerner, terapis seks yang juga penulis She Comes First, ketika wanita mencapai orgasme, mereka menjadi lebih fokus pada apa yang sedang dilakukan, dan akhirnya mampu memaksimalkan kenikmatannya. "Orang yang tetap tenang saat berhubungan seks kemungkinan sedang bersiap mendapatkan orgasmenya. Justru orang yang sering menjerit-jerit dan merintih-rintih itu mungkin hanya berpura-pura," katanya.

Bagaimana dengan Anda? Apakah Anda tipe yang selalu mengekspresikan kenikmatan seksual lewat suara, ataukah tipe yang tenang? (kompas,Rabu, 2/9/2009 )